Sleepy child at Rainy day
Harus ada Hujan sebelum ada Pelangi
27 July 2008
Ini cerita hari ketiga di Palembang. Sabtu, 19 Juli 2008

Selamat pagi Palembang! saya berkata dalam hati. Menyambut hari ketiga di Palembang. Saya bersemangat sekali hari ini, karena hari ini tampaknya akan full team, full time pula untuk seharian ngelilingin Palembang. Opi, ria dan ema bisa libur.Urusan devi dan ronal sudah selesai. Udin pagi-pagi juga sudah dipulangkan oleh Pria yang semalam menjemput dia( dan tidur bersamanya tentunya). Kami pun berkumpul kembali di rumah ria, eh kamar ria tepatnya.

Tentang kamar ria.

Like my dream room when i was junior high school...
Waktu SMP saya membayangkan kamar kos saya nanti akan seperti ini. Dilantai 2, dengan jendela besar menghadap ke jalan. Jadi bisa menikmati sinar matahari dan angin sore. Sayang pemandangan dikamar ria tertutup tembok tetangga.. tapi angin yang masuk hmm mantap. seger. Saya jadi ingat cara bapak saya membangunkan saya waktu SMP. Beliau membuka jendela kamar lebar-lebar sejak pukul 5 pagi. What a cold morning. Setelah bersiap-siap, kami sarapan dan menyambut pagi kedua di Palembang.

Ada kejadian yang bagi mereka yang gila mistik, pasti hal ini akan dimaknai macem-macem. Waktu sarapan pagi, saya duduk di pinggir kolam ikan yang ada diruang tengah rumahnya ria. Belum lama duduk disitu, ikan didalam kolam tiba-tiba mengamuk dan mencipratkan air keatas. Kenapa ya, ikan-ikan itu seperti gelisah saat saya duduk disitu. Baju saya jadi sedikit basah kecipratan air.

Rumah rahmi.

Hari ini tujuan kami (udin sebenernya) rumah rahmi, rumah opi dan rumah ema. Rumah teman-teman Palembang kami yang sudah 6 tahun hanya bisa kami banyangkan lewat cerita-cerita. Tentang rumah mereka pengetahuan kami sebatas "rumah ria ma rahmi deketan, rumah ema deket kertapati, aga jauh jauh jaraknya dari tempat ria" waktu itu saya membayangkan bahwa perjalanan antar kerumah mereka akan menyusuri pinggiran sungai musi, dengan angkot yang tidak ada musiknya.

Ternyata kerumah rahmi dari rumah ria itu hanya berjalan kaki. Dalam perjalanan ke rumah rahmi, kami melewati sebuah warung. Dari kejauhan saya melihat sosok bapak-bapak yang lagi berdiri didepan warung. Dalam hati saya berasa kenal ma bapak ini..tapi dimana....ah gak mungkin gua kenal, ini Palembang.

Ah ternyata itu bapaknya Rahmi! saya berkata pelan "astaga ini bapaknya rahmi. yang ke lampung kemaren.yang gua gonceng itu" Kami langsung menyalami beliau.mudah-mudahan kalimat saya tidak terdengar, hiks...

Kemudian baru jalan lagi,, akhirnya sampaaii! ini dia rumah rahmi. ah, ada semacam perasaan lega saat satu demi satu bayangan saya tentang rumah mereka menjadi kenyataan. Jadi nanti saya sudah bisa membayangkan jika mereka bercerita-cerita lagi. Belum lama kami beristirahat di ruang tamunya, ema buntet datang. Udin celingukan nyari adeknya rahmi. What a desire. But, in fact, that my obsesion too.. hehehe.

Selanjutnya adalah rumah opi. Perjalanan kerumah opi cukup jauh. Saat saya menduga perjalanan akan menjadi naik turun bukit, angkot berhenti. Tujuan sudah dekat, tinggal menempuh beberapa gang lagi. Gang? iya, bayangin aja (bagi yang pernah ke rumahnya di blora, pasti tau 'smooth way' ala opi) Gang yang biasa kita tempuh kalo kerumahnya opi di blora. Jalan ini jadi gang dibanding jalan-jalan raya di Palembang yang geude-geude.

Sampai dirumah opi.
Sebelum sampai di rumahnya opi, ada suatu cerita menarik didalam angkot. Awalnya kemarin, hari jumat waktu saya, ema, ria dan udin naik angkot menuju Kota Palembang dari rumah ria. Didalam angkot ada seorang penumpang yang berkata "Stop!" untuk memberhentikan angkot. Seperti kata "kiri" atau "pinggir bang!" di Lampung. Saya dan udin waktu itu bisik-bisik "ooh, disini pake kata 'Stop' din". Tragedi dimulai waktu kami membahas ini dengan devi. Devi dengan sangat antusias mengembangkan kata 'stop' tadi diikuti gerakan-gerakan pendukung.

STOP! (telapak tangan terbuka kedepan)
menjadi;
STOP! (telapak tangan terbuka kedepan, kemudian berubah menjadi ancungan jempol)
menjadi;
STOP doy! sip...(telapak tangan terbuka kedepan, kemudian berubah menjadi ancungan jempol)

Hakhak. Saya jadi menceritakan sebuah kisah kepada mereka. Waktu dulu saya pernah naik kapal Ferry menyebrangi selat sunda. Di atas kapal saya bertemu dengan seorang laki-laki yang ternyata dia teman kakak saya. Dia cukup akrab dengan saya waktu kecil. Jadi kami saling berbasa-basi hingga tiba akhir perjalanan. Sebelum berpisah dia dengan kacamata hitamnya megacungkan jempol dari jauh *bayangan seorang pris berjaket kulit dan berkacamata hitam mengacungkan jempol dari jauh*
NAh itu yang saya ceritakan kepada devi hingga sampai muncul tragedi gaya 'STOP' tadi.Norak sekali.

Rumahnya opi tampak besar. dan ah, saya tersiksa begitu duduk diruang tamunya. Ada kaca gede banget. Saya tidak nyaman bila berhadapan dengan wajah sendiri saat berbicara.

Naik kelantai 2, kamarnya opi ternyata juga seperti kamar imajinasi saya waktu SMP. Kamar dengan kasur dekat jendela lebar yang langsung menghadap ke jalan raya. cuit..cuit... saya ngebayang opi duduk di beranda ngegodain mamang-mamang tekwan atau bujang-bujang palembang yang lewat bertelanjang dada dengan sejumput bulu ketiak yang menonjol kegencet lengan ..(what a horrible imagination)... jangan lebai ah.

Dikamarnya opi, saya sempat tidur-tiduran dikasur sambil menatap langit luar. waaaah...... nice view! nice place! opi yang tiap hari tidur disini mungkin udah gak ngerasa lagi sensasi kaya gini. waah rasanya ingin tinggal disana. atau ingin punya kamar kaya gitu. atau ingin kos kamar kaya gitu. atau kalo ga bisa juga yaah ingin kembali kesana untuk tiduran sambil menatap langit lagi....

Ni nikmatnya jadi pendatang baru, semua hal jadi terasa nikmati. Bisa merasakan sensasi-sensasi mengejutkan yang datang menyerbu memori minta diserap, sensasi bernama "pengalaman pertama".

Setelah ngacak-ngacak sebentar dikamar opi, saya melihat ada dua buah empek-empek tergeletak tengkurep di piring depan kamarnya opi. Glug. Lapar. Mungkin kalo di lampung itu gorengan, berhubung ini Palembang, jadinya pempek yang jadi cemilan.

Dua sisi dalam diri saya bertarung hebat,

Ambil....ambil...ambil aja! di palembang pempek itu kayak kacang, sekali masak, banyak. Itu cuma sisanya. ambil aja! ga diambil juga ntar ga dimakan..

Jangaan..jangan! pake etika doy, ini rumah kawan lu. Kawan lu punya kawan juga. Jangan-jangan itu punya mereka. Jangan-jangan itu cuma belum dimakan aja.jangan doy! malu.

.....

Untunglah saya tidak dikalahkan rasa lapar.

Sebelum berangkat menuju peradaban kembali, kami sempet foto dulu sebentar didepan rumahnya opi. Seorang anak baik temen opi bernama NILAM berbaik hati mengambil foto ini. Berkali-kali dia bilang, "Bergaya dong. Masa gayanya biasa aja" (saya membayangkan kalo di lampung dia akan berkata "Bergaya GEH") hakhak. kami memang cukup seragam dalam masalah gaya. Bukan generasi dengan angle foto -hampir selalu- dari atas. Jadi begitu difoto ya begitu, gayanya datar aja. mukanya cukup senyum. Senyum rahmi yang paling manis, ronal paling cabul. hakhak. Tuntas satu tujuan lagi. Saya pulang kelampung nanti sudah bisa membayangkan kehidupan opi. Misal dia cerita, "cape gua pulang langsung tidur. Eh pas ditangga pingsan sangking cape" hmm saya bisa ngebayangin. Ataupun misal dia cerita "gua kemaren ngegodain cowok bo' dari beranda" hmm, saya juga bisa ngebayangin.

Sekitar pukul 1. dari tempat opi selanjutnya menuju keramaian.

Naik bis sampai ke International Plaza. Di bis saya duduk sama ema. ema cerita kalo ada tempat makan soto yang enak, punya bapak temennya. saya membayangkan makan gratis sepuasnya. hakhak. gak ding, tapi makan sepuasnya bayar seikhlasnya. hakhak sama aja. Saya cuma bisa mengiyakan, karena saya pikir kesempatan untuk kesana sulit. Waktu untuk keliling sangat sempit. Walau ema bilang "nti kita makan disana aja" tapi i saya tetap cuma bisa mengiyakan dan membayangkan.

Turun dari bis, saat mereka langsung naek tangga penyebrangan, saya berdiam dulu sebentar, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Menyerap suasana sekitar. Tadi masih ada nama jalan dengan tulisan "Djalan" huhuw, so oldies. Setelah senyum-senyum menikmati pemandangan kota Palembang sejenak, saya mengikuti langkah mereka. Devi sempet kebingungan ketika tau kita pada mau makan soto. "Lho katanya tadi mau makan nasi ayam?" tanya Devi. Hehe, kejadian sebenarnya adalah: ema udah didepan jadi guide ke arah tempat soto ayam. Jadi yang laen ya ngikut.

Sotonya bernama soto ABAH OPAN. Tempatnya jawuh kedalem-dalem nyelusup gitu, tapi yang makan rame. rameeee. Ada antrian kecil, tadinya gua pikir itu antrian untuk mesen makanan, tapi ternyata antrian orang untuk bayar! syet dah. cuma untuk bayar aja ngantri. Saat makan saya duduk disebelah Opi. HEhe, posisi yang tepat karena opi seperti biasa, nasinya ga abis. sotonya juga.

Dari tempat soto, kami menyebrangi International Plaza untuk ketempat jualan tiket. Rencananya mau mesen tiket ekonomi. Sambil jalan Ema menjelaskan kalo ini tempat gaulnya dia dulu waktu SMP. hmm..ema pernah nongkrong-nongkrong disini gitu ya *my imagination*. Ip merupakan pusat perbelanjaan yang paling tua di Palembang. Mungkin sama seperti Supermarket KING di tanjung karang dulu ya, sayang KING udah tutup.

Tiket ekonomi ternyata tidak bisa dibeli lewat agen. Jadi harus langsung dateng ke stasiun. Dari kota, kami naik bis langsung menuju ke bukit siguntang. Kenapa ke bukit Siguntang?

-flashback-

Hari sebelumnya, saya berbincang dengan Ria. Mengenai tujuan jalan-jalan kami ke Palembang.
Ria : "jadi nti mau kemana aja jan?"
Jn : "Gatau ya. Kemana aja ya? Ke Ampera sih yang pasti"
RIa : "Ketempat ini aja, yang bisa ngeliat Palembang dari atas. Jadi ada bukit gitu, gua kesana kelas 6 SD, bisa ngeliat kota Palembang"
Jn : *Muka berbinar-binar* "yah! yah! sip itu! nti kesana aja ya. Yang penting jangan ke mol aja"
Ria : "Yaudah nti ajak anak-anak saja, namanya bukit siguntang"
Jn : "Oh, bukit garuntang?"
Ria : "siguntang"

Nah kira-kira seperti itulah kejadiannya kenapa bisa ke bukit siguntang.

Bukit siguntang merupakan tempat kuburan para raja dan ratu kerajaan Palembang dulu. Masuknya cuma bayar 1000,-/orang. TEmpatnya banyak pohon, naek turun tangga, banyak bangunan semacam gazebo/cottage/pondok gitu yang aga tinggi dari tanah. Aga sepi, dan banyak orang pacaran! Kami sempat terkejut saat naik salah satu pondok itu. Kata Ria disana tempatnya bisa ngeliat kota Palembang. Pas naek (ROnal yang pertama) ada orang pacaran dengan posisi lumayan seronok. Oh. Kami udah rame-rame foto diatas sana, cemeke'an, tapi tu pasangan gak turun juga. Foto sebentar, menikmati Palembang yang terlihat kecil, trus turun. Selanjutnya apa yang terjadi diantara pasangan itu, hanya Tuhan dan mereka berdua yang tahu.

ni beberapa foto di bukit siguntang (belum diposting)

Dari bukit siguntang, tujuan selanjutnya adalah Rumahnya ema. Kami naik angkot dari depan bukti siguntang, turun di depan Gedung Walikota. Menjelang turun angkot, berhubung udin duduk paling depan diantara kami semua, udin dipaksa devi teriak "STOP!" didalam mobil. Udin tentu saja emoh. Karena membayangkan kata itu akan bernilai norak seperti yang devi peragakan. Namun dengan situasi dimana anak-anak tidak ada yang mau memberhentikan angkot, sementara kami akan sudah harus berhenti, mau tidak mau udin berteriak pelan, 'Stop' teriakan yang diikuti tawa puas dan geli dari devi. dan saya juga. hakhak..(mohon maap kalau dalam cerita ini kejadiannya menjadi kurang lucu.padahal situasi sesungguhnya benar-benar bikin saya ketawa)

Rumah ema

(bersambung)
posted by Jana @ 12:36 AM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
About Me

Name: Jana
Home: bandarlampung, Lampung, Indonesia
About Me: Huaahaha, fotonya serem ya? ini lagi jajal helm model tengkorak di emol.
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox


ShoutMix chat widget

Links
Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER